Mengawinkan Implementasi Karakter Dalam Penilaian Afektif

-->
Pada beberapa tulisan sebelumnya telah dibahas akan ranah penilaian afektif dan penanaman karakter. Kedua hal tersebut sesungguhnya memiliki keterkaitan yang erat, dimana tingkat tertinggi dari ranah afektif adalah karakterisasi, sementara karaterisasi diimplementasikan pada proses pembelajaran dalam bentuk kegiatan rutin, pengkondisian atau teladan. Guru secara aktual telah mengajar namun portfolio penilaian hasil belajar siswa secara administratif menjadi barang yang ‘langka’. Masih terasa sulit ditemukan proses penilaian oleh guru terhadap siswa yang setidaknya memuat 3 aspek yaitu: 1) proportional, 2) transparant, dan 3) accountable. Proportional adalah proses penilaian dengan menentukan bobot penilaian atas 3 ranah yaitu pengetahuan, kemampuan dan sikap dengan mempertimbangkan SKKD mapel yang diampu. Transparant adalah proses penilaian yang bersifat terbuka dan senantiasa bisa diakses/ditanya oleh siswa. Sementara accountable secara sederhana diartikan bahwa siswa dapat dengan mudah menghitung berapa nilai yang akan diperolehnya. Apakah kita selaku pengajar telah menerapkan hal tersebut?

Realitanya
Dari ketiga ranah itu maka penilaian afektif adalah penilaian paling ‘sumir’. Ranah ini terasa sulit untuk dievaluasi. Beberapa kalangan guru bahkan ‘lupa’ memasukkan ranah ini dalam penilaian secara administratif. Jikapun ditemukan, maka guru biasanya menggunakan ‘tameng’ presensi siswa sebagai penilaian afektif. Berikut ini fakta-fakta mengejutkan seputar kebiasaan ‘segelintir’ guru dalam proses penilaian afektif, diantaranya:
1.        Jarang (atau bahkan terlupa) menentukan besaran bobot pada penilaian afektif.
2.       Tata nilai atau karakter yang akan ditanamkan cenderung monoton. Coba bayangkan ‘presensi’ menjadi ‘the only one’, padahal presensi sebagai implementasi disiplin bisa dikombinasi dengan begitu banyak nilai karakter yang akan dididikkan pada siswa.
3.       Penilaian tidak transparan dan tidak standar. Padahal standar sangat penting menjadi acuan patokan yang akan dicapai siswa pada proses pembelajaran. Seseorang harus mengetahui berapa jarak yang mesti dia tempuh untuk mencapai garis finish. Bahkan masih jamak ditemukan kondisi penilaian yang tidak menggunakan standar sama sekali seperti
“jika nilai akhirnya rendah maka guru baru melihat presensi untuk mengatrol nilai diambang KKM”.

Beberapa solusi
Oleh karena itu, kondisi di atas akan semakin ‘semrawut’ dengan kewajiban tambahan program penanaman karakter yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2010 di seluruh sekolah. Berikut ini beberapa tips yang mungkin berguna untuk ‘mengawinkan’ penilaian afektif dan penanaman karakter pada proses pembelajaran.
1.        Tentukan karakter yang akan dididikkan. Upayakan lebih variatif meskpun presensi boleh dijadikan sebagai ‘core’ (pusat) penilaian
2.       Umumkan pada siswa karakter apa yang akan masuk dalam penilaian
3.       Tentukan target yang akan dicapai serta nilai yang akan mereka peroleh
4.      Siswa harus membuat jurnal harian penanaman karakter yang isinya memudahkan guru untuk mengevaluasi program yang dijalankan
5.       Jangan sungkan untuk melibatkan orang tua dan guru lainnya, sebab implementasi karakter perlu dukungan dari lingkungan sekitar
6.       Lakukan evaluasi secara berkala dengan meluangkan waktu 5-10 menit mengecek buku jurnal harian sebelum pelajaran dimulai
7.       Berikan perhatian lebih pada siswa yang masih kesulitan memahami atau mencapai target yang telah ditentukan lewat ‘advise’ yang bijak
8.       Umumkan hasil perhitungan penilaian afektif diakhir pembelajaran
9.       Lakukan evaluasi pencapaian implementasi karakter pada pembelajaran sekarang sebagai pondasi penentuan aspek karakter pada penilaian semester berikutnya

Langkah-langkah di atas telah mulai dirintis oleh Prodi Teknik Instalasi Tenaga Listrik SMKN 1 Paringin sejak awal semester genap tahun 2013. Program implementasi penanaman karakter yang terintegrasi dengan penilaian afektif mapel produktif listrik melibatkan 3 aspek karakter meliputi: 1) ibadah sholat wajib, 2) gemar menabung, dan 3) gemar membaca. Bobot penilaian afektif terbagi 2 yaitu: 1) penilaian antar kawan 10% (akan dijelaskan pada artikel berikutnya), dan 2) penanaman karakter 10%. Selain itu orang tua, guru BP dan agama serta pustakawan dilibatkan dalam mengevaluasi dan mengontrol pelaksanaan program tersebut lewat buku jurnal harian.
so its on your hands now..... J (by sya)

Comments

Popular posts from this blog

Jobsheet Teknik Instalasi Tenaga Listrik

Keliru atau Tidak Tahu

Analisis Soal Pilihan Ganda Menggunakan Anates V4