“Digugu dan Ditiru”

Sejatinya tugas utama guru adalah mendidik dan mengajar dimana kedua hal ini memiliki side efect yang yang maha dahsyat. Namun sayangnya tidak semua rekan guru menyadari hal tersebut. Mendidik adalah proses menanaman berbagai nilai, norma atau etika yang tujuan akhir adalah mengkarakter dalam diri siswa. Sementara mengajar adalah proses transfer of knowledge dalam hal ini melibatkan ranah kemampuan dan pengetahuan. Bahwa generasi mendatang adalah tanggungjawab guru, dirasa benar adanya sebab lewat dual function yaitu mendidik dan mengajar maka siswa yang sekarang akan menjadi penerus masa depan.
Jika dilihat dari kata GURU yang secara umum merupakan akronim dari kata “digugu” dan ditiru” maka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi), digugu berarti “diindahkan” atau “dipercayai” sementara “ditiru” berarti melakukan sesuatu seperti yang diperbuat orang lain. Dalam konteks guru maka guru akan digugu dan ditiru oleh siswa. Digugu berarti setiap perkataan guru akan dengan mudah dipercayai (diindahkan) oleh siswa. Oleh karena itu “digugu dan ditiru” merupakan satu kesatuan dimana saat seseorang dipercayai maka tingkah lakunya secara umum akan diikuti.
Realitanya?
Menarik untuk menyimak salah satu butir evaluasi pada teachers meeting SMKN 1 Paringin Kamis 7 Pebruari 2013 lalu, yaitu kehadiran guru pada jam mengajar. Berdasarkan testimoni kepala sekolah bahwa tingkat kehadiran guru khususnya yang mengajar pada jam pagi (pun juga di jam-jam yang lain) masih ditemukan keterlambatan.
Berdasarkan fakta yang diungkap oleh Kepala SMKN 1 Paringin, maka tingkat kehadiran guru di SMKN 1 Paringin dalam mengajar masih perlu pembenahan serius. Pada kenyataan yang lain, seringkali guru mengeluhkan tingkat kehadiran siswa saat pelajaran berlangsung. Bahkan jamak dikemukakan oleh rekan guru akan kurangnya perhatian siswa dikelas, merasa diabaikan atau sudah mulai “kehabisan akal” untuk membangkitkan motivasi siswa. Menurut Wade & Travis (2008: 459) motivasi berprestasi menekankan pada tujuan dan alasan yang dimiliki seseorang untuk mengejar tujuan tersebut. Selain itu motivasi menurut Jex (2002: 210) seperti gravitasi, tidak bisa dilihat namun akan dirasakan efeknya. Oleh karena itu motivasi menjadi faktor penting dalam pembelajaran. Jika kita lihat dari 4 kompetensi guru maka paedagogis dirasa memasuki tahap top urgent untuk kembali diriview. “Kegusaran” salah satu Guru Besar Program Pasca sarjana Universitas Negeri Yogyakarta yang menyerukan “TOBAT NASIONAL” bagi kalangan pendidik, kiranya sangat beralasan. Sebab bagaimana mungkin pengetahuan dihasilkan oleh peserta didik jika materi yang disampaikan sebagai stimulan tidak menarik untuk disimak karena metode atau teknik pendekatan bahkan yang lebih dan semoga tidak adalah “kepribadian” guru yang mengajar masih jadi tanda tanya besar bagi siswa. Bukan hanya sampai disitu, guru seringkali mengabaikan keragaman cara belajar siswa, terpaku pada metode konvensional yang kurang update dengan perkembangan, atau terlalu mengagungkan kemajuan teknologi dan melupakan “personal approach” dengan siswa.
Hal tersebut bukan barang baru sebab kekhawatiran praktisi pendidikan adalah guru telah menjadikan siswa sebagai “OBJEK” bukan sebagai partner pendidikan. Siswa seperti “BOTOL” yang oleh guru siap ditumpahi air (materi, red), namun lupa untuk membuka “TUTUP BOTOL” tersebut agar air tidak terbuang percuma. Bila dikaitkan fakta di atas maka coba kita renungkan:
-          Apakah perilaku keterlambatan kita memiliki andil terhadap perilaku keterlambatan siswa?
-          Apakah metode mengajar kita memiliki andil terhadap ketidak ingin tahuan siswa terhadap materi yang kita ajarkan
-          Apakah perilaku keseharian kita dalam mengajar yang bersifat ‘anomali’ ternyata malah “digugu dan ditiru” oleh siswa
-          Apakah karena siswa “menggugu dan meniru” penyimpangan kita maka sebanyak apapun ilmu yang kita coba transfer sepertinya hanya mengisi “botol yang tertutup rapat”
-          Apakah sikap formal kita yang lebih sering “bergaul” dengan siswa pada jam mengajar menjadi halangan untuk mengetahui karakteristik cara belajar siswa
Beberapa solusi
-          Introspeksi mendalam dan mulailah dari “TIDAK TERLAMBAT MENGAJAR”
-          Jadikan diri sebagai teladan sebab keteladan adalah model pembelajaran terbaik
-          Jadi teladan saja BELUM CUKUP, namun lakukan pembinaan yang intensif terhadap siswa lewat pola REWARD AND PUNISHMENT
-          Lakukan modifikasi metode ceramah secara cerdas dengan metode lain
-          Perbanyak komunikasi dengan siswa diluar jam mengajar
-          Hilangkan pemikiran untuk menutupi ketidak mampuan kompetensi lewat pemberian “nilai ajaib”
so its on ur hands now..... J (by sya)

Comments

Popular posts from this blog

Jobsheet Teknik Instalasi Tenaga Listrik

Keliru atau Tidak Tahu

Analisis Soal Pilihan Ganda Menggunakan Anates V4