Pendidikan Karakter

Oleh : IZUDDIN SYARIF

Jika kita cermati maka sekarang begitu kuat keinginan untuk mengembalikan pendidikan kita pada pendidikan berkarakter sebagai pondasi dari kemampuan peserta didik. Hal ini tentu saja beralasan kuat sebab produk pendidikan sekarnag tidak membuat seseorang siap dalam menghadapi tantangan kerja, banyak lulusan yang cerdas namun lemah dalam karakter salah satunya adalah tingkat kejujuran yang semakin memprihatinkan. Hal ini seakan-akan 'menampar' muka pendidikan kita, ditambah lagi tindakan curang seperti plagiatisme, mencontek dan tindakan tidak halal lainnya, berkembang dan mengkarakter di diri peserta didik kita.

Siswa sekarang tidak lagi menjadikan pekerjaan yang dibuat dengan keringat sebagai sebuah kebanggaan, alih-alih berbuat jujur malah jika mampu mencontek tidak ketahauan dan menghasilkan nilai yang baik menjadi sebuah trend. Hal ini menjadi fenomena yang menggejala dan membahayakan sistem pendidikan kita. Ibarat pepatah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari", setali tiga uang, guru sebagai pendidik juga sering melakukan tindakan curang hanya demi jabatan dan tunjangan yang muara akhirnya adalah finansial, menggadaikan sebuah nilai kejujuran, mengorbankan orisinalitas yang tanpa sadar memberi contoh bagi siswanya. Akhir-akhir ini maraknya program sertifikasi bagi guru tidak luput dari praktik kecurangan mulai dari mengakui sertifikat pelatihan atau kegiatan lain yang bukan miliknya, bahkan berani melakukan duplikasi karya orang lain. Lewat Kementrian Pendidikan Nasional pada tahun ini mencanangkan sebagai tahun tanpa plagiatisme dan menumbuhkan kembali pendidikan karakter terutama kejujuran di dunia pendidikan kita.

Secara umum karakter adalah bagian akhir dari komponen afektif yang telah lama kita kenal. Menurut Bloom (1976) hasil belajar dibagi atas 3 ranah yaitu kognitif, psikomotorik dan afektif. Ranah afektif menjadi bagian yang paling sering dilupakan sebab secara prinsip ranah ini merupakan ranah yang paling sulit dibuat instrumen evaluasinya sebab menyangkut aktifitas laten (tersembunyi) dalam diri peserta didik. Padahal kemampuan afektif adalah akar dari semua kemampuan baik kognitif maupun psikomotorik (Popham, 1995). Andersen (1981) sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan.

Secara umum semua mengetahui pentingnya penilaian kemampuan afektif namun cenderung sulit dalam implementasinya. Oleh karena itu seorang guru memiliki 2 tugas mulia yaitu mendidik dan mengajar. Kita menyadari bahwa tugas mengajar lebih mudah dibandingkan dengan mendidik, sebab mengajar hanya berhubungan dengan transfer of knowledge atau memfasilitasi sebuah proses inquiri akan sebuah pembelajaran. Sementara mendidik lebih pada menanamkan nilai dan norma dalam diri peserta didik yang sewajarnya dimulai dari diri guru itu sendiri. Semua kemampuan yang ada dalam diri peserta didik menjadi percuma jika tidak dibarengi dengan kemampuan afektif yang menjadi ruh dalam pendidikan. Menurut Krathwohl (1961) semua tujuan kognitif memiliki unsur-unsur afektif. Karakterisasi seluruh nilai dan norma menjadi bagian akhir dari taksonomi afektif yang dibagi atas lima tngkatan yaitu :

1. Penerimaan (Receiving)
Kepekaan (keinginan menerima/memperhatikan) terhadap fenomena/stimult menunjukkan perhatian terkontrol dan terseleksi

2. Responsi (Responding)
Menunjukkan perhatian aktif melakukan sesuatu dengan/tentang fenomena setuju, ingin, puas meresponsi (mendengar)

3. Acuan Nilai (Valuing)
Menunjukkan konsistensi perilaku yang mengandung nilai, termotivasi berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang pasti

4. Organisasi (Organization)
Mengorganisasi nilai-nilai yang relevan ke dalam suatu sistem menentukan saling hubungan antar nilai memantapkan suatu nilai yang dominan dan diterima di mana-mana memantapkan suatu nilaimyang dominan dan diterima di mana-mana

5. Karakterisasi (Charachterization)
Proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalal suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkat efektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki phyloshophy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang lama, sehingga membentu karakteristik “pola hidup” tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan.

Jadi bisa dilihat bahwa karakter adalah kemampuan seorang peserta didik untuk menginternalisasi seluruh nilai dan norma yang telah diketahui dan dipahami dengan sebenar-benarnya menjadi konsep diri dan pribadi yang mengakar kuat dalam jiwanya. Nilai dan norma yang dimaksud bisa bermacam-macam, yang jelas semua nilai dan norma positif dan menjadi modal dasar bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan lain baik kinestetik maupun kognitifnya. Sebab prinsip dasar dari pendidikan adalah mengembangkan potensi dalam diri peserta didik menjadi sebuah kemampuan yang terukur dan teridentifikasi dengan baik. Jauh sebelum sistem pendidikan bahkan konsep afektif atau karakter diperkenalkan oleh para ahli, Rasulullah telah mengajarkan konsep kejujuran sebagai pilar utama dari karakter seorang manusia utamanya seorang muslim dan menjadikan diri beliau sebagai contoh/teladan. Lewat kejujuran maka akan tumbuh sifat-sifat positif seperti kedisiplinan, tanggung jawab, kerjasama, komitmen, percaya diri, menghargai pendapat orang lain, kemampuan mengendalikan diri dan lain-lain.

Namun lagi-agi pertanyaannya adalah sudahkah kita menerapkan internalisasi nilai tersebut dalam diri kita utamanya jika seorang pendidik, sebab sebaik-baiknya model pembelajaran adalah contoh dan tauladan dari diri pendidik itu sendiri.
(bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Jobsheet Teknik Instalasi Tenaga Listrik

Keliru atau Tidak Tahu

Analisis Soal Pilihan Ganda Menggunakan Anates V4