Biaya Pendidikan : Keberpihakan atau Pengingkaran

oleh :
IZUDDIN SYARIF
izuddinsyarif@yahoo.co.id



A. Pendahuluan
Jika sudah memasuki tahun pelajaran baru maka akan ada aktifitas luar biasa bagi seluruh keluarga Indonesia yaitu mempersiapkan putra-putrinya untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Rutinitas ini menguras energi yang cukup besar bukan hanya pemikiran namun lebih pada finansial. Kondisi pendidikan di Indonesia yang makin hari makin sulit ditebak arah dan kebijakannya, membuat seluruh rakyat harus siap dengan berbagai perubahan. Sebagai contoh kebijakan Ujian Nasional (UN) yang awalnya diharapkan menjadi bahan evaluasi hasil belajar siswa dan pemetaan keberhasilan satuan pendidikan dalam mencapai standar yang ditetapkan pemerintah, ternyata tidak serta merta memberi kemudahan siswa untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. Sebab masih banyak sekolah bahkan perguruan tinggi yang memberlakukan tes ulang terhadap calon siswa/mahasiswa barunya. Selain itu biaya pendidikan yang makin hari makin sulit dijangkau oleh sebagian besar rakyat Indonesia menjadi keprihatinan tersendiri. Orang tua siswa sering berjibaku dengan perasaan, waswas bercampur stres. Bayangan dan harapannya adalah si anak bisa sekolah berkualitas dengan biaya murah. Ini hukum ekonomi pula. Ingin mendapatkan jasa bermutu dengan ongkos rendah. Persoalannya, tak semudah yang dibayangkan harapan itu bisa terwujud. Jauh lebih banyak harapan yang tidak terwujud. Lebih besar orang tua yang gagal. Tak mendapatkan sekolah berkualitas dengan biaya murah. Kalaupun dapat yang berkualitas, biaya yang dikeluarkan amat mahal. Pertanyaa besarnya adalah sejauh mana negara dalam hal ini pemerintah telah mengambil dan mengimplementasikan kebijakan 20% anggaran pendidikan bagi sistem pendidikan di Indoensia.

B. Kebijakan Biaya Pendidikan dan Permasalahannya
Pembiayaan pendidikan telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Secara khusus disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Dalam konteks ekonomi, pengertian biaya adalah pengorbanan-pengorbanan yang dinyatakan dalam bentuk uang, diberikan secara rasional, melekat pada proses produksi, dan tidak dapat dihindarkan. Bila tidak demikian, maka pengeluaran tersebut dikategorikan sebagai pemborosan. Biaya pendidikan dikategorikan bermacam-macam menurut sudut pandangnya seperti :

1. Biaya Langsung dan Tidak Langsung (direct and indirect cost)
Berbagai biaya yang ditimbulkan akibat pilihan terhadap pendidikan harusnya menjadi pertimbangan yang utama. Ada 2 kategori biaya pendidikan yaitu biaya langsung dan tidak langsung yang didalamnya juga termasuk perhitungan kehilangan kesempatan dan penghasilan yang hilang akibat pilihan tersebut. Biaya langsung meliputi biaya mempekerjakan guru, administrator, konselor dan staff sekolah. Selain itu biaya langsung juga termasuk pembelian peralatan, material, lahan dan bangunan. Sementara itu biaya tidak langsung meliputi penurunan nilai uang/inflasi, perabot dan pajak. Selain itu yang lebih penting bahwa biaya tidak langsung juga dihitung berdasarkan kehilangan penghasilan yang diakibatkan oleh pilihan untuk sekolah dan mengabaikan kesempatan untuk bekerja.

2. Biaya Pribadi dan Sosial (private and social cost)
Satu hal yang penting dalam pendidikan adalah bagaimana biaya dirasakan dan dibebankan pada pribadi serta keluarga tersebut bukan hanya pada msyarakat secara umum. Biaya pribadi meliputi berbagai biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan, sementara itu biaya sosial termasuk biaya pribadi dan biaya-biaya yang dibebankan pada masyarakat sekitar. Biaya pribadi mewakili biaya yang ditimbulkan akibat kehilangan kesempatan kerja bagi individu dan keluarganya. Orang tua yang akan menyekolahkan anaknya harus mempertimbangkan biaya ini sebagai akibat dari kesempatan kerja yang digantikan oleh pendidikan anak tersebut. Para pelajar yang memilih untuk sekolah dapat menghitung sejumlah pengeluaran pribadi seperti biaya kuliah dan biaya lainnya, pendapatan yang hilang akibat sekolah dan kehilangan waktu luang.

Biaya pribadi akan berkurang ketika masyarakat memberikan kontribusi untuk meringankan biaya pendidikan lewat institusi pendidikan. Bantuan masyarakat diperoleh secara tidak langsung dari pajak dan berbagai bentuk hibah bagi pendidikan. Di sekolah dasar bantuan masyarakat hampir sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan biaya pendidikan, sementara itu di perguruan tinggi mahasiswa wajib menanggung sebagian beban biaya pendidikan dan sebagian lainnya dikontribusi dari masyarakat. Biaya sosial merupakan jumlah dari biaya pribadi dan biaya yang diterima dari masyarakat. Total biaya langsung dan tidak langsung dapat dibandingkan dengan keuntungan masyarkat guna menjadi dasar sebuah keputusan untuk berinvestasi dalam pendidikan.

3. Biaya keuangan dan non keuangan (monetary and nonmonetary cost)
Biaya keuangan berupa langsung dan tidak langsung yang berasal dari individu maupun masyarakat. Pembayaran uang kuliah merupakan biaya keuangan, sementara biaya non keuangan seperti pendapatan yang hilang, termasuk waktu luang yang hilang akibat sekolah. Dari sudut pandang sosial, biaya non keuangan juga disebabkan oleh dampak sekolah bagi lingkungan sekitarnya seperti suara bising atau keributan yang ditimbulkan oleh perkelahian siswa.

4. Biaya pendidikan menurut Peraturan Pemerintah No.19/2005 Bab IX Pasal 62 meliputi :
- Biaya investasi meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.

- Biaya operasi satuan pendidikan meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

- Biaya personal adalah biaya yang dibebankan pada orang tua peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
Seringkali beberapa komponen biaya investasi dan operasi juga masuk menjadi beban biaya personal yang mesti ditanggung oleh peserta didik, sehingga membuat biaya personal ini menjadi melambung dan terkesan mahal bagi rakyat kebanyakan. Sekarang banyak sekali lembaga pendidikan yang membebankan biaya operasional maupun investasi pada peserta didiknya dengan alasan peningkatan mutu pendidikan.

Hasil penelitian Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang Depdiknas (2004) menemukan, besaran biaya satuan pendidikan keseluruhan di SD sebagian besar (73,53%) menjadi beban orangtua. Demikian pula biaya satuan pendidikan keseluruhan SMP (70,88%) masih menjadi tanggungan orangtua siswa. Sementara persentase yang ditanggung pemerintah lebih kecil. Tingginya biaya pendidikan yang ditanggung orangtua disebabkan banyaknya komponen biaya pendidikan yang menjadi beban orangtua, seperti biaya transportasi bagi siswa, biaya pembelian seragam. Alokasi anggaran pendidikan dari pemerintah lebih banyak dialokasikan untuk komponen biaya penunjang, yang menyangkut penyediaan sarana dan prasarana, seperti gaji guru, pengembangan fisik sekolah, pengadaan buku pelajaran.

Permasalahan pendidikan nasional tak pernah usai, lebih khusus lagi jika menyangkut masalah pembiayaan pendidikan, siapapun mengakui makin mahalnya biaya untuk memasuki jenjang pendidikan saat ini. Memang tidak salah jika kita mengatakan pendidikan bermutu membutuhkan biaya. Namun, persoalannya daya finansial sebagian masyarakat di negeri ini masih belum memadai akibat sumber pendapatan yang tak pasti. Terlepas dari permasalahan pembiayaan itu tanggungjawab siapa, persoalan yang paling krusial adalah perhitungan biaya pendidikan yang sesungguhnya, yaitu besaran dan efektivitas biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dengan kata lain, sejauhmana pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun non pemerintah dapat berpengaruh pada mutu layanan sekolah yang akan menentukan tercapainya prestasi siswa.

Fenomena pendidikan yang menyedot biaya begitu besar dari masyarakat ini sering kita jumpai saat pendaftaran siswa baru (PSB) di tiap awal tahun pelajaran. Orangtua siswa pun dibuat meradang mengenai biaya yang harus ditanggung dalam menyekolahkan anaknya. Memang harus diakui pemerintah tak lepas tangan membiayai pendidikan. Untuk pendidikan khusus siswa SD-SMP, Pemerintah telah menggulirkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk meringankan beban masyarakat miskin. Namun demikian, besaran dana BOS tetaplah terbatas. Apalagi jika berbicara dana BOS khusus buku yang masih minim untuk membeli satu buku pelajaran berkualitas.

Kita sering menjumpai sekolah yang berstatus RSBI/SBI memungut biaya pendidikan yang jauh lebih besar dari biaya pendidikan beberapa perguruan tinggi yang cukup ternama di Indonesia. Sebagai contoh untuk masuk SMK RSBI/SBI orang tua siswa setidaknya harus merogoh kantong minimal Rp. 300-500 ribu/bulan. Biaya tersebut jika kita bandingkan dengan biaya kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta atau di UIN Sunan Kalijaga yang masih bertahan dikisaran Rp. 700-800 ribu/semester (kurang dari Rp. 200 ribu/bulan). Kita menyadari bahwa pendidikan yang baik kadangkala membutuhakan biaya yang besar dan partisipasi aktif dari peserat didik dan masyarakat seperti yang tercanmtum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU tersebut telah diatur beberapa pasal yang menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu pada Pasal 11 Ayat 2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun. Lebih lanjut pada Pasal 12, Ayat (1) disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya dan mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Di samping itu disebutkan pula bahwa setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada tahun 1995, Malaysia sudah menganggarkan pembiayaan pendidikan 21,12 persen. Demikian pula, Filipina sudah mematok anggaran 17,09 persen. Ketika itu, Indonesia baru menganggarkan 10,10 persen untuk pendidikan. Lewat anggaran 20% dari APBN yang berarti tidak kurang dari Rp. 200 trilyun dialokasikan bagi pendidikan, dalam implementasinya hanya sekitar Rp. 50 trilyun saja sebab anggaran sisanya dialokasikan bagi kementerian lain yang mengadakan pendidikan dan pelatihan. Anggaran itulah yang digunakan untuk membiayai pendidikan bagi 230 juta penduduk Indonesia. Kesadaran bangsa kita akan pentingnya pendidikan memang perlu diapresiasi namun ternyata tidak semudah itu untuk mengalokasikan anggaran yang cukup besar dari APBN secara efektif dan efisien.

Begitu banyak program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan seperti sertifikasi tenaga pendidik menuju profesionalitasnya, beasiswa pendidikan bagi peserta didik yang berprestasi dan tidak mampu, pengadaan fasilitas pendidikan seperti peralatan dan bahan praktik bagi sekolah menengah kejuruan serta banyak lagi program yang hebat di atas kertas namun mampet dalam implementasi. Sebagai contoh program sertifikasi yang bertujuan mulia agar profesi seorang guru dihargai sesuai dengan jasanya mendidik putra-putri bangsa ternyata tidak lepas dari karut marut operasional di lapangan, plagiatisme, korup dan praktik curang lainnya mewarnai upaya tenaga pendidik guna mendapat selembar kertas sertifikasi yang berarti penambahan penghasilan tiap bulannya. Jika kita bandingkan dengan peningkatan mutu tenaga pendidik yang dihasilkan dari program tersebut ternyata masih jauh dari harapan. Biaya yang besar dikeluarkan pemerintah tidak serta merta membuat tenaga pendidik yang telah “dianggap” profesional tersebut menjadi paham akan hakikat mendidik dan mengajar. Semangat pengabdian akan profesi pendidik digantikan oleh formalitas dan kepentingan sesaat. Akhirnya yang jadi korban lagi-lagi adalah peserta didik, padahal anggaran pendidikan diambil dari uang rakyat yang harusnya dapat dinikmati kembali oleh rakyat lewat profesionalitas pendidik.

Hal ini tidak berhenti sampai disini bahwa dengan alasan mutu maka satuan pendidikan diberi kewenangan menetapkan biaya pendidikan yang tinggi dan ditanggung oleh peserta didik. Hal ini tentu saja menjadi kebijakan yang bukan hanya tidak tepat tapi telah menjadi pisau bermata dua yang makin menyayat kehidupan rakyat. Human investment yang berpandangan bahwa pendidikan harusnya menjadi bagian penting manusia dalam menginvestasikan pendidikan untuk kemakmurannya dimasa depan ternyata telah dibuat berat dan semakin tak berarah. Rakyat semakin pesimis akan masa depan pendidikannya. Bayangkan bahwa seoranag calon mahasiswa kedokteran harus menginvestasikan minimal Rp. 100 juta hanya untuk biaya kuliah awal yang sering disebut biaya gedung, belum lagi biaya lain seperti buku, praktik dan lainnya.

Beberapa kebijakan coba digulirkan oleh pemerintah lewat Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) untuk mengatasi tingginya biaya penidikan seperti mentargetkan sebanyak 10 persen siswa dari kelompok keluarga miskin dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Target ini ditetapkan untuk menaikkan angka partisipasi kasar (APK). Ada tiga skenario yang telah dipersiapkan Kemdiknas.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyampaikan, untuk meningkatkan akses siswa miskin dilakukan dengan memberi beasiswa BIDIK MISI bagi 20 ribu calon mahasiswa. Langkah kedua, meminta perguruan tinggi, terutama negeri, untuk memberikan tempat khusus bagi siswa miskin. Langkah ketiga, mengajak perusahaan dengan memanfaatkan corporate social responsibility (CSR) untuk mengalokasikannya pada bidang pendidikan.

Harapannya mahasiswa yang cerdas namun tidak mampu dapat menikmati pendidikan tinggi dengan biaya gratis. Program ini menggratiskan biaya kuliah dan memberi biaya hidup Rp. 600 ribu/bulan bagi pesertanya. Namun jika kita hitung ulang bahwa dengan biaya Rp. 600 ribu ternyata jauh dari cukup bagi mahasiswa dari golongan miskin. Sebab biaya tersebut belum termasuk biaya buku dan biaya kuliah lainnya diluar biaya pendidikan per semester. Kabar yang mengejutkan dari lapangan menyebutkan bahwa banyak kepala sekolah yang berbuat curang dengan meloloskan siswa-siswa yang mampu secara ekonomi dalam program BIDIK MISI. Kecurangan ini terungkap saat verifikasi oleh perguruan tinggi akan status ekonomi calon mahasiswa peserta BIDIK MISI. Sebuah program mulia yang dibelokkan hanya untuk kepentingan pihak tertentu. Pihak swasta yang memiliki SCR juga masih enggan mengkolaborasikan program mereka dengan pemerintah apalagi mempercayakan pendanaan SCR bidang pendidikan dan diserahkan pada pemerintah. Hal ini bukannya tanpa alasan, sebab anggaran besar akan menciptakan peluang korupsi yang makin besar apalagi tingkat kontrol yang lemah di pemerintahan, sehingga swasta lebih percaya menangani sendiri program mereka. Oleh karena itu terobosan pemerintah mengajak swasta lewat program SCR untuk membantu meringankan baya pendidikan tidak sepenuhnya disambut dengan baik oleh pihak swasta. Mereka lebih suka memberikan bantuan pendidikan dan melakukan pengawasan langsung terhadap peserta didik yang dibiayainya, bahkan orientasi studi calon mahasiswanya juga telah ditentukan searah dengan visi dan misi perusahaan.

Setiap kebijakan dalam pembiayaan pendidikan akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Kita meyakini harusnya pemerintah telah mengkaji berbagai peraturan dan kebijakan yang berbeda-beda di sektor pendidikan, beserta konsekuensinya terhadap pembiayaan pendidikan, seperti :

a. Keputusan tentang siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan
b. Keputusan tentang bagaimana mereka akan dididik
c. Keputusan tentang siapa yang akan membayar biaya pendidikan
d. Keputusan tentang sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung pembiayaan sekolah

Setidaknya terdapat dua kriteria untuk menganalisis kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah, yakni, efisiensi yang terkait dengan keberadaan sumber daya yang dapat memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan yang terkait dengan benefits dan costs yang seimbang. Optimalisasi sumber daya yang belum mencapai titik puncaknya ditambah konsep keadilan yang cenderung mendua dan ambivalen membuat berbagai kebijakan pemerintah hanya hebat dalam tataran konsep namun tidak mulus dalam implementasinya. Penelitian yang dilakukan tim Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Jawa Barat mengenai pembiayaan pendidikan menyebutkan bahwa biaya operasional sekolah memiliki variasi yang cukup tinggi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Variasi biaya operasional sekolah terjadi karena variasi jumlah siswa dan aktivitas serta berbagai layanan yang dilakukan sekolah. Temuan di lapangan menunjukan, baik sekolah bermutu tinggi, sedang, dan rendah alokasi biaya operasional SD ternyata lebih banyak untuk kesejahteraan personalia. Sedangkan alokasi biaya operasional SMP, lebih banyak dialokasikan untuk komponen penilaian pada sekolah yang bermutu tinggi dan sedang. Adapun pada SMP yang berkategori bermutu rendah, alokasi terbesar adalah untuk kesejahteraan personalia.

Pada SMA, alokasi biaya operasional lebih besar pada penyelenggaraan KBM (SMA yang bermutu tinggi) dan untuk kegiatan kesiswaan (SMA yang bermutu sedang dan rendah). Kriteria sekolah bermutu mengacu kepada jumlah siswa persekolah, angka kelulusan lebih dari 95 persen tiap tahunnya, Rata-rata UASBN/UN mencapai 7,00, dan serapan lulusan pada sekolah favorit di wilayah tersebut lebih dari 50 persen. Sehingga kecenderungannya, pembiayaan belum berpihak kepada dukungan layanan KBM yang lebih bermutu. Di samping nilai nominalnya belum memadai, patut dicermati alokasi biaya yang dialokasikan oleh sekolah.


C. Penutup
Sekarang bagaimana cara kita menyikapi biaya pendidikan yang semakin sulit dijangkau? Banyak hal yang mestinya menjadi perhatian kita bersama, memang tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan menjadi tanggungjawab bersama bukan hanya pemerintah namun juga masyarakat dan peserta didik sendiri. Namun kali ini komponen sistem pendidikan seperti jalan masing-masing, pemerintah tidak kuasa mengawasi impelementasi program di lapangan yang akhirnya rakyat menjadi korban.

Pendidikan sekarang membentuk kastanisasi di masyarakat. Orang yang mampu secara ekonomi akan menyekolahkan putra-putrinya di sekolah unggulan yang berbiaya tinggi. Sementara orang-orang yang kurang mampu dan miskin akan terpinggirkan hanya di sekolah sederhana dengan peralatan yang seadanya. Hal ini ternyata didukung oleh kebijakan pemerintah bahwa sekolah unggulan mendapat bantuan biaya yang lebih besar sebab dianggap mampu memenuhi standar mutu pendidikan semetara sekolah yang tidak mampu akan diberi punishment lewat bantuan anggaran pendidikan yang kecil. Keberpihakan kebijakan pemerintah akan keadilan yang merata dan mensejahterakan menjadi pertanyaan besar dalam sistem pendidikan kita. Berbagai ketimpangan antara yang kaya dan miskin semakin jauh jika dilihat dari fasilitas pendidikannya. Laskar pelangi merupakan gambaran secara nyata akan ketidakberpihakan sistem pendidikan sekarang ini, dan hal ini harusnya menginspirasi kita semua. Kebijakan pemerintah lewat subsidi silang sering hanya sebuah solusi jangka pendek yang kadangkala disalah artikan oleh pelaksana lapangan. Pendidikan tidak lagi menjadi harapan bagi yang miskin namun sudah menjadi mimpi yang mahal untuk diwujudkan, penuh perjuangan dan memputus asakan. Keberpihakan pemerintah tidak sampai pada implementasi, banyak siswa-siswa cerdas yang terpaksa hanya menikmati pendidikan di sekolah-sekolah murah minim fasilitas sebab telah terpinggirkan dari persaingan yang kapitalis.

Sebuah ungkapan bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang dikelola secara profesional berorientas pada output tidak hanya melihat sisi input kiranya menjadi hal yang jarang ditemukan. Sekolah lebih pada orientasi bisnis bahkan banyak pendidik yang mencari tambahan penghasilan lewat sekolah meski harus menggadaikan hakikat pendidikan bagi semua. Jika hal ini terus berlanjut maka bukan tidak mungkin muncul pengingkaran negara akan kewajiban memenuhi pendidikan yang layak bagi warga negaranya. Namun setidaknya kita masih memiliki optimisme bahwa pemerintah akan terus berupaya membuka mata hatinya bahwa kebijakan yang selama ini dibuat haruslah sampai pada implementasi yang bermakna, sehingga seluruh stake holder yakin bahwa bangsa ini masih berada di jalurnya dan bersama-sama mendorong agar sistem pendidikan di Indoensia menjadi lebih baik lagi di masa akan datang.


Referensi
Anne Ahira. (2010). Biaya Pendidikan, diunduh 7 Juni 2011, dari http://www.anneahira.com/biaya-pendidikan.htm
Becker, Gary S. (1993, 3rd Ed). Human Capital : A Theoretical and empirical Analysis, with Special Reference to Education. Chicago and London : The University of Chicago Press
Biaya Pendidikan sebagai Beban Kemitraan, diunduh 7 Juni 2011, dari dari www.jawapos.co.id
Kanadianto. (24 Januari 2008). Standar Gaji Bagi Fresh Graduate (SMA, DIII & S1), diunduh 13 Maret 2011, dari http://kanadianto.wordpress.com/2008/01/24/standar-gaji-bagi-fresh-graduate-sma-diii-s1/
Kemendikans. (2005). Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Mahalnya Biaya Pendidikan, diunduh 7 Juni 2011, dari http://www.eramuslim.com/suara-kita/dialog/mahalnya-biaya-pendidikan.htm
Mulyawan. (29 Juni 2010). Nilai Ekonomi Pendidikan Tinggi, diunduh 13 Maret 20011, dari http://mulyawan77.blogspot.com
Nur Syam. (Mei 2010). Menata Biaya Pendidikan Tinggi, diunduh 7 Juni 2011, dari http://artikel-media.blogspot.com/2010/05/menata-biaya-pendidikan-tinggi.html
Nurkolis. (6 Maret 2008). Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang, diunduh 13 Maret 2011, dari http://smk3ae.wordpress.com
Sayidiman Suryohadiprojo. (30 June 2007). PIikiran Tentang Pembangunan Jangka Panjang 2010-2030, diunduh 13 Maret 2011, dari http://sayidiman.suryohadiprojo.com/
Sudarwan Danim. (2006). Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara
Thomas, J. Alan. (1971), The Productive School, Canada

Comments

Popular posts from this blog

Jobsheet Teknik Instalasi Tenaga Listrik

Keliru atau Tidak Tahu

Analisis Soal Pilihan Ganda Menggunakan Anates V4