Bahayanya Keterlambatan yang Mengkarakter
Kita sering mendengar kata “KARAKTER”, yang pada tahun 2010 oleh pemerintah
lewat KemenDikBud dicanangkan menjadi program Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa. Program ini tidak “ujug-ujug”
kemunculannya, namun telah melewati berbagai kajian atas realitas yang dianggap
sangat memprihatinkan dewasa ini. Pihak penyelenggara pendidikan yaitu sekolah
telah tanpa disadari membiarkan berkembangnya perilaku yang mengarah pada
karakterisasi nilai-nilai menyimpang di lingkungan sekolah. Karakter itu
sendiri menurut Balitbang Puskur Kemendikbud (2010) adalah watak, tabiat,
akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi
berbagai nilai yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang,
berpikir, bersikap, dan bertindak.
Sesungguhnya karakter bukan barang baru.
Karakter itu sendiri berada dalam ranah afektif (Krathwohl, 1961) dengan urutan
sebagai berikut:
1.
Receiving, adalah kepekaan seseorang dalam menerima stimulus
dari luar dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain.
2. Responding,
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara
aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara.
3. Valuing,
berarti memberikan nilai terhadap suatu kegiatan, sehingga apabila kegiatan itu
tidak dikerjakan akan membawa penyesalan.
4. Organization, artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru,
yang membawa pada perbaikan umum
5. Characterization, yakni internalisasi nilai dalam diri seseorang yang mempengaruhi pola
kepribadian dan tingkah lakunya.
Pendidikan karakter terasa sangat sulit
dipahami atau diukur sebab guru atau pendidik yang terbiasa dengan penilaian
terukur menjadi “gamang” dalam memposisikan pendidikan karakter pada proses
pembelajaran. Padahal pendidikan karakter itu sendiri telah termaktub dengan
jelas menjadi bagian dari penilaian afektif dari seluruh rangkaian penilaian
hasil belajar siswa. Hanya saja pada pendidikan karakter siswa diarahkan pada
pembiasaan atau routine activities yang pada akhirnya mengkarakter dalam
dirinya.
Salah satu nilai karakter yang
dikembangkan adalah disiplin. Implementasi sederhana dari nilai disiplin ini
adalah seperti pembiasaan KETEPATAN
WAKTU. Siswa diajarkan pada nilai pentingnya penghargaan terhadap waktu.
Bahwa waktu tidak pernah kembali dan akan terus berjalan, kiranya hanya mudah
diucapkan namun terasa sulit dilakukan. Sebagai contoh masih banyak
perilaku-perilaku terlambat yang ditemukan pada proses pembelajaran seperti terlambat
masuk kelas, terlambat mengumpulkan tugas, terlambat mencari informasi, terlambat
menyadari, terlambat mengantisipasi, atau bahkan terlambat bertindak.
Keterlambatan yang sekarang seringkali
dimaklumi atau dianggap wajar kiranya akan menjadi BOM WAKTU yang suatu saat akan meledak. Guru yang memiliki tugas
mendidik sebagian besar sepertinya “terlambat menyadari” fenomena ini.
Perilaku terlambat yang awalnya hanya bersifat “kebetulan” akan menjadi
kebiasaan dan mengkarakter sebab dilakukan terus menerus (rutin). Hal ini
diperparah dengan pola “pembiaran” atau “evaluasi
½ hati” dari pihak sekolah. Siswa yang terlambat dan terburu-buru ke
sekolah sesungguhnya indikator bahwa dalam dirinya masih ada rasa bersalah (valuing)
namun kita perlu khawatir jika ditemukan siswa datang ke sekolah meskipun
terlambat namun masih dengan tenang masuk kelas, sebab hal ini menjadi salah
satu indikator nilai keterlambatan yang mulai mengkarakter dalam dirinya.
Beberapa solusi
Karakterisasi bisa diimplementasikan
dengan beberapa cara seperti kegiatan rutin, keteladan dan pengkondisian. Berikut ini beberapa
solusi yang mungkin berguna
-
Hindari siswa
mencontoh perilaku “terlambat” yang dilakukan
guru dengan cara: 1) pergeseran jam mengajar bagi guru yang sulit untuk datang
tepat waktu, atau 2) bertukar jam mengajar
-
Arahkan
karakterisasi dengan pola terukur seperti keterlambatan yang dilakukan oleh
siswa masuk dalam penilaian akhir mata pelajaran dan jangan lupa diumumkan pada
siswa besaran bobot penilaian “ketepatan”
-
Lakukan pendekatan
pada pihak yang sering terlambat untuk mengetahui sesungguhnya kondisi penyebab
keterlambatan
-
Pihak sekolah
yang berwenang hendaknya melakukan “evaluasi
sepenuh hati” terhadap perilaku “terlambat”
baik oleh siswa atau guru agar tidak terkesan terjadi pembiaran terhadap
perilaku menyimpang yang terjadi di lingkungan sekolah.
Ingat reward “termurah” bagi pihak yang berkinerja
baik adalah dengan memberi punishment pada pihak yang berkinerja kurang baik
so its on your hands now..... J (by sya)
Comments