Mencari Alasan
-->
Akhir-akhir ini kita seringkali
mendengar bahwa pendidikan di Indonesia hanya mencetak lulusan yang mampu
secara akademis namun mengabaikan pembentukan moral siswa. Berbicara moral maka
“hati”
lah pusatnya. Guru dituntut untuk mengutamakan pendidikan yang berpusat dari “hati”.
Apa
hubungannya antara moral siswa dengan salah satu kompetensi guru yaitu
kompetensi kepribadian?
Pembelajaran yang seutuhnya adalah
kegiatan yang melibatkan hati pada setiap prosesnya. Kompetensi kepribadian guru
yang unggul akan memberi contoh dan teladan bagi siswanya. Oleh karena itu
sangat erat kaitannya antara moral peserta didik dengan kepribadian guru sebab
keduanya berpusat dari “hati”. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam
Syah (2000:225-226) menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan
menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi siswanya,
ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan siswanya yang
sedang mengalami kegoncangan jiwa. Karakteristik kepribadian guru meliputi
fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis.
Fleksibilitas kognitif atau keluwesan
ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara
simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya
ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Sementara
keterbukaan secara psikologis adalah kemampuan guru untuk mendekatkan diri
dengan siswanya secara psikologis. Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya
tahan dalam menghadapi berbagai perilaku siswanya. Arikunto (1993:239)
mengemukakan kompetensi kepribadian/personal mengharuskan guru memiliki
kepribadian yang mantap sehingga menjadi sumber inspirasi bagi subyek didik,
dan patut diteladani oleh siswa.
Bagaimana realitanya....?
Masih jamak ditemukan perilaku anomali
guru yang tercermin pada sikap dan tindakan serta jauh dari keteladan, yang
diantaranya:
Ø
Bagaimana mungkin
meminta siswa berdisiplin jika guru seringkali meracau dalam “tindakan
indisipliner” seperti berdalih kesibukan sehingga terlambat mengajar, meninggalkan
kewajiban mengajar tanpa tugas untuk siswa, dan kalaupun ada tugas maka hasilnya
tidak dikoreksi serta dikembalikan pada siswa.
Ø
Sungguh sulit
dijalankan untuk meminta siswa untuk membaca/mengulang pelajaran di rumah jika guru
hanya menyiapkan diri beberapa saat sebelum mengajar/bahkan hanya mengandalkan “buku
sakti” yang menjadi Kitab Suci berwujud “Lembar Kerja Siswa (LKS)” yang
bahkan buku itu sendiri telah dilengkapi kunci guna mempermudah guru dan
merepotkan siswa J.
Ø
Apa mungkin mengajarkan
siswa mandiri jika guru sendiri “malas” mengulang pembelajaran yang telah
diberikan/bahkan tidak menyiapkan perangkat penting pembelajaran dengan dalih
sudah ada di LKS yang semuanya itu selayaknya dipersiapkan secara mandiri oleh
guru.
Ø
Sulit dibayangkan
jika guru “memaksa” siswa tekun mendengarkan dirinya ceramah di depan
kelas dengan materi yang telah ada di LKS (text
book) tanpa pengembangan yang relevan dengan kehidupan sehari-harinya
Ø
Tidak mudah bagi
siswa untuk memahami guru yang memberi nilai tanpa kejelasan aturan main bahkan
nilai muncul “simsalabim” di lembar rapor atau menjelang pembagian rapor
siswa mulai disibukkan dengan “remedial tiada akhir”
Ø
Terasa ambigu
ketika siswa dilarang berbuat curang sementara guru seringkali “mencurangi”
siswa dalam hak mereka untuk dinilai secara layak dan lebih manusiawi serta
bukan hanya berpusat pada kemampuan tertulisnya.
Ø
Agak janggal bagi
siswa saat guru disibukkan dengan kegiatan luar sekolah seperti ‘pelatihan
tanpa ujung’ atau kegiatan lain yang kadang tidak sesuai kompetensinya
dan meninggalkan pendampingan siswa dalam belajar di sekolah.
Ø
Terasa goncang
dalam pikiran siswa ketika mereka diwajibkan untuk upacara tiap senin sebagai
bentuk kecintaan pada tanah air dan bangsa sementara guru dengan mudah dan “melenggang
santai” datang terlambat atau bahkan tidak mengikuti upacara dengan berbagai
alasan.
Masih banyak lagi perilaku dan sikap yang tidak
bersumber dari “hati” dan kesemuanya itu terpampang jelas “tanpa malu” pada proses
pembelajaran di sekolah.
Solusinya...?
Mulailah berpikir bahwa guru sebelumnya
merasakan menjadi siswa, dan ketika dirinya menjadi siswa maka diapun tidak
menyukai berbagai perilaku dan sikap yang telah dicontohkan gurunya seperti di
atas. Atau yang paling sederhana adalah guru juga sebagian besar memiliki anak
dan ketika anaknya dididik oleh guru dengan perilaku tersebut, apa yang
dipikirkan oleh dirinya....?
so its on your hands now..... J (by sya)
Comments